Antagonisme dalam Masyarakat
- Studi mengenai Penjarahan, Tawuran,
oleh
Draft Makalah Seminar Renai ke-2
Salatiga, Kamis-Jum’at, 30-31 Mei 2002
Antagonisme dalam Masyarakat
- Studi mengenai Penjarahan, Tawuran,
Oleh Nurdien H. Kistanto[1]
AbstractLately social and political antagonism has been a disturbing phenomenon, especially in Central Java region. A group of social researchers initiates a research team to conduct short-term field work in order to obtain first-hand information concerning the transitional issues which took place in several locations in Central Java including Solo, Blora, Brebes, Pati, Pekalongan, Kebumen, Demak, and Semarang until the end of 1998. Findings tend to support arguments that social and political riots were among others triggered by widening social gaps between different groups in society. While trust to government apparatus tended to decrease, worse economic and political conditions facilitated uncontrollable radical mass violence. Key words: social antagonism, Central Java, economic and political condition, mass violence. |
1. Pengantar
Menjelang puncak krisis politik dan ekonomi, sejumlah daerah dan lokasi di Jawa Tengah mengalami gejala-gejala antagonisme sosial dan politik yang sangat meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Pertanyaan dan diskusi bertubi-tubi telah digelar di berbagai kesempatan dan media, baik yang analitis maupun yang sekedar berbagi pengalaman. Keadaan ini berlangsung beberapa tahun belakangan, ketika krisis ekonomi dan politik benar-benar merasuki sendi-sendi sosial-budaya masyarakat kita, khususnya di Jawa Tengah.
Salah satu upaya yang dianggap lazim di kalangan peneliti dan cendekiawan dalam menjawab pertanyaan dan mencari jalan ke luar bagi suatu persoalan besar yang menjadi gejala mencolok dalam masyarakat adalah menyelenggarakan penelitian atau kajian. Sekelompok peneliti dan cendekiawan berusaha mencari jawaban tentang berbagai permusuhan dan kerusuhan sosial dan politik yang terjadi di Jawa Tengah pada tahun-tahun 1997 dan 1998, ketika krisis politik dan ekonomi kemudian benar-benar mempengaruhi kehidupan dan cara menyelesaikan masalah dalam masyarakat kita. Penelitian lapangan, yang segera dilanjutkan dengan penulisan laporan, dilakukan secara serentak oleh sejumlah peneliti pada bulan-bulan Oktober-November 1998.[2]
2. Antagonisme, Konflik dan Peperangan
Antagonisme agaknya menjadi kata kunci yang cocok untuk menyebut gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dan dikaji dalam penelitian ini, karena istilah tersebut mengandung pengertian “permusuhan, perlawanan, kebencian, pertentangan, peringkaran” (Echols & Shadily, 1992: 30) atau “active hostility or opposition” (Dalgish, 1997: 27). Pengertian ini dekat dengan istilah konflik yang mengemban pengertian “percekcokan, perselisihan, pertentangan” (Echols & Shadily, 1992: 138) atau “to disagree, be in opposition, clash; a fight, battle, or struggle; disagreement, quarrel, argument” (Dalgish, 19967: 163).
Apabila dikaitkan dengan tekanan demografis yang dialami penduduk Jawa Tengah, “adalah suatu paham yang setua umur manusia bahwa di dalam negeri-negeri yang berkelebihan kepadatan penduduknya ketegangan-ketegangan sosial menjadi dahsat dan perang atau revolusi sering terjadi” (Duverger, 1998: 58). Selain itu antagonisme sosial juga dapat disebabkan oleh unsur-unsur kepribadian atau temperamen para pelakunya; dalam hal ini terdapat dua pendapat: yang pertama, “temperamen adalah pembawaan sejak lahir, bersifat biologis; yang kedua, “temperamen terutama diperoleh melalui hubungan-hubungan psikososial” (Duverger, 1998: 183).
Dalam kenyataannya, antara faktor sifat biologis atau bawaan sejak lahir dan faktor pengaruh hubungan psikososial, sangat sulit untuk dipisah-pisahkan, ketika “orang banyak” sudah terjebak ke dalam “emosi massa” untuk melakukan “amuk massa” atau “kekerasan massa” (mass violence).
Dengan pengertian-pengertian antagonisme dan konflik demikian, agaknya unsur-unsur perang atau peperangan juga terlibat mewarnai peristiwa-peristiwa yang menjadi isyu pada pembicaraan kita ini. Apabila antagonisme dan konflik modern ternyata memang melibatkan unsur-unsur peperangan, maka sebenarnya nasib manusia selalu berada dalam kondisi rawan sejak zaman baheula dan ketika peradaban manusia disebut pada tahapan “belum berkembang” atau “terbelakang” – untuk menghindari sebutan “primitif.”
Dalam antropologi mengenai bangsa “primitif,” antagonisme dan konflik yang melibatkan unsur-unsur peperangan (primitive war), menurut Marvin Harris (1978b: 48), merupakan kegiatan yang sangat tua (very ancient practice), tetapi karakteristiknya berbeda-beda dalam masa prasejarah dan masa sejarah. Dalam keterangan yang lain, Marvin Harris (1978a: 52) menyebutkan bahwa “Primitive war, like cow love or pig hate, has a practical basis. Primitive peoples go to war because they lack alternative solutions to certain problems – alternative solutions that would involve less suffering and fewer premature deaths.”
Sebagian dari masyarakat Jawa Tengah modern agaknya tidak berbeda jauh dari keadaan yang digambarkan oleh Marvin Harris itu, bahwa dasar atau alasan mereka bersitegang, kemudian meningkat pada situasi konflik yang kemudian berakhir dengan antagonisme dengan kekerasan massa, adalah karena tidak berkembangnya nilai-nilai alternatif, terutama dalam pendidikan politik yang memadai. Alternatif pendidikan politik untuk terbangunnya civil society agaknya terhambat selama puluhan tahun, sehingga ketika katup-katup penyumbat kesumpekan dibuka - yang sebenarnya untuk kepentingan kebebasan berpolitik - situasi jadi penuh ledakan di sana-sini. Sebagian orang memilih “peperangan” – bahkan dengan tetangga atau dengan lingkungan yang mungkin sebelumnya menjadi satu kelompok dengannya. Karena praksis politik dan peperangan, misalnya, terdapat ungkapan, bahwa tidak ada koalisi atau kemitraan yang abadi; yang abadi adalah kepentingan politiknya itu sendiri.
Sebagaimana kepentingan politik, kepentingan ekonomi juga mendorong terjadinya antagonisme yang diikuti dengan kekerasan pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan (critical mass violence) yang dapat berakibat fatal dan tragis bagi sementara korban yang mengalaminya.
3. Tujuan dan Manfaat
Kajian dan penelitian yang diselenggarakan bersama ini bertujuan untuk memahami antagonisme yang berwujud kekerasan dan kerusuhan sosial dan politik di Jawa Tengah sebagai bagian dari sistem nilai sosial budaya masyarakat yang menjadi fenomena menonjol belakangan ini. Sehingga kesadaran kita mengenai kesalahan-kesalahan kita dan masyarakat kita dapat menjadi pelajaran berharga yang pada gilirannya dapat bermanfaat untuk melakukan perbaikan-perbaikan diri sebagai masyarakat dan bangsa yang berkehendak maju di tengah-tengah pergaulan bangsa dan masyarakat sendiri dan pergaulan antar masyarakat dan bangsa-bangsa lain.
Bagi pihak-pihak yang terkait kewajiban dengan persoalan dan menentukan kebijakan-kebijakan penting yang mempengaruhi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah, kiranya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dengan memetik pelajaran untuk pengambilan langkah-langkah antisipasi, pencegahan dan penanganan kasus-kasus antagonisme sosial budaya di Jawa Tengah.
4. Struktur Kategorial dan Lokasi Penelitian
Tim peneliti merumuskan struktur kategorial dan identifikasi pola antagonisme sosial budaya sebagai langkah konseptual menuju kajian tentang masalah tersebut, dengan membagi antagonisme sosial budaya ke dalam 4 (empat) kategori, yakni (1) penjarahan; (2) tawuran; (3) kerusuhan sosial dan politik; dan (4) (isyu) santet.
Lokasi-lokasi yang dipilih meliputi Solo dan Randublatung, Blora untuk kategori “penjarahan;” Sukolilo, Pati dan Wanasari, Brebes mengenai “tawuran;” Pekalongan dan Kebumen untuk “kerusuhan sosial dan politik;” Rowosari, Semarang dan Donorejo, Demak tentang “(isyu) santet.”
Pelaksanaan penelitian lapangan dan analisis data yang menghasilkan laporan penelitian terutama memanfaatkan teknik-teknik, metode-metode, dan strategi kualitatif, terutama dengan observasi dan wawancara terhadap tokoh-tokoh kunci dan para informan di lokasi kejadian, yang dilengkapi dengan sumber-sumber yang berasal dari berbagai dokumen dan media – sebagaimana lazim dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian sosial budaya.
Laporan yang dihasilkan, oleh sebab itu, cenderung deskriptif-analitis, atau yang oleh Clifford Geertz (1973) disebut thick description. Namun demikian, sesekali para peneliti merasa perlu menyampaikan analisis data yang mengandung unsur-unsur kuantitatif, dengan statistik, sehingga dalam menyampaikan laporan (TPJT, 1998) terjadi upaya memadukan pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, seperti disarankan oleh kecenderungan metodologis belakangan ini (lihat Bernard, 1994; Brannen, 1997).
Berikut ini ringkasan masing-masing bagian dari laporan penelitian ini.
5. Penjarahan, Tawuran, Kerusuhan Sosial-Politik, Isyu Santet
5. 1. Kerusuhan di Solo dan Penjarahan Kayu di Randublatung, Blora
5. 1. 1. Kerusuhan di Solo
Secara historis hingga kini, wilayah Solo atau Surakarta sering menjadi ajang konflik dan kerusuhan. Selain konflik dan kerusuhan yang tak tercatat, pada abad ke-20 Solo mengalami sejumlah konflik dan kerusuhan, yang diawali pada tahun 1911 saat terjadinya konflik antara Kong Sing Cina dan Kong Sing Jawa, yang disusul pemogokan dan kerusuhan buruh kereta api di stasiun Solo Balapan pada tahun 1923, setelah terjadi gerakan-gerakan radikal dalam politik pada tahun-tahun 1918-1920. Kemudian terjadi kerusuhan berupa perkelahian massal pada pembukaan PON tahun 1946, lalu pergolakan anti-swapraja pada tahun-tahun 1946-1950 dan kerusuhan akibat peristiwa Madiun pada tahun 1948; di sela-sela peristiwa-peristiwa tersebut terjadi serangan umum pada tahun 1949. Agak lama sesudah itu, di Solo pecah kerusuhan anti-Cina pada tahun 1966, yang diulang pada tahun 1980, dan kemudian kerusuhan pada bulan Mei 1998 yang sangat mencekam dan mengakibatkan korban-korban harta-benda dan jiwa sehingga dikenal dengan sebutan “Mei Kelabu.”
Banyak orang mengatakan bahwa “Mei Kelabu” merupakan akibat dari konflik antara Tionghoa dan Jawa. Namun jika melihat harta-benda yang dirusak, rasanya sulit mengambil kesimpulan demikian – begitu pula korban-korbannya pun bukan hanya orang-orang Cina. Ada toko orang Jawa terbakar dan terjarah, tapi ada pula rumah makan milik orang Tionghoa yang luput dari pembakaran dan penjarahan. Kalau dikatakan penyebab kerusuhan adalah terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial antara orang Tionghoa dan orang Jawa, antara orang kaya dan orang miskin, masih juga dapat dipersoalkan, karena yang menjarah toko bukan hanya orang miskin, melainkan juga mereka yang naik mobil dan tidak semua orang Tionghoa kaya, dan seterusnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik nilai, kemudian kebiasaan stereotipe, dan pelabelan etnik; tetapi dapat juga dikatakan terjadinya konspirasi politik, yang disertai turunnya peran dan wibawa aparat, yang terkesan membiarkan terjadinya penjarahan harta-benda. Tetapi agaknya para peneliti kerusuhan di kota Solo ini lebih cenderung melihat persoalan dari terjadinya pemilahan posisi timbal balik dalam kognisi antara orang Jawa dan orang Cina, yakni posisi orang Tionghoa dalam kognisi orang Jawa di satu sisi, dan posisi orang Jawa dalam kognisi orang Cina, di sisi lain.
5. 1. 2. Penjarahan Kayu Jati di Hutan Randublatung, Blora
Luas hutan di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Randublatung adalah 32.461 ha: 85,6% (27.776,5 ha) terletak di 39 desa hutan dengan kelas hutan jati produktif, yang dihuni 137,6 ribu jiwa - yang 58,8% (80,9 ribu) di antaranya penduduk berusia produktif (15-55 tahun). Pada radius 5 km di area hutan terdapat 48 perusahaan swasta untuk pengolahan dan penggergajian kayu. Pada Mei-Juni 1988 tingkat pencurian kayu jati naik sekitar 433% (mencapai 8.733 pohon) dibanding bulan-bulan sebelumnya. Kerugian akibat pencurian mencapai sekitar Rp 150.412.000, naik 295,6% dibanding tahun 1997.
Modus operandi pencurian ditandai bergabungnya warga masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok pencuri, yang berani melawan petugas ronda gabungan dari Perum Perhutani, Polsek dan Koramil – keadaan ini dapat dipahami karena letak pemukiman warga ada di tengah hutan. Mereka beranggapan bahwa pemenuhan kebutuhan dari hasil hutan tidak bisa disebut pencurian, karena mereka mengambil “secukupnya saja” (sacukupe wae) dengan “memetik sekadarnya” (amek). Tapi agaknya sistem nilai budaya masyarakat di hutan itu mengalami perubahan, tuntutan kebutuhan hidup tak cukup dipenuhi dari pertanian sawah “tadah hujan,” ditambah terjadinya pergeseran nilai moral dan dorongan rasa cemburu atas kelakuan aparat yang cenderung leluasa mengambil hasil hutan tanpa sanksi. Selain itu, akibat tuntutan pasar, pembeli dan penadah ada di mana-mana, ditumpuk lagi dengan situasi politik nasional dan regional yang makin tidak menentramkan perekonomian masyarakat; sehingga mereka pun terdorong untuk ikut ambil bagian dalam penjarahan “harta negara.”
Langkah-langkah pengendalian keamanan berupa tindakan preventif dan represif tidak menunjukkan hasil memadai dan tidak mendorong masyarakat sadar terhadap perbuatannya, justru sebaliknya, muncul rasa dendam di antara mereka. Sedangkan pemberdayaan masyarakat desa hutan (PMDH) dinilai terlambat, disebabkan terjadinya perubahan sosial dan pergeseran sistem nilai budaya masyarakat.
5. 2. Tawuran di Brebes dan Pati
Tawuran antar penduduk desa Pebatan dan desa Pesantunan di Kecamatan Wanasari, Brebes merupakan tradisi turun-temurun sejak pendudukan kolonial Belanda. Namun tawuran tersebut tidak mengakibatkan korban jiwa: biasanya korban tawuran mengalami luka kecil hingga luka serius.
Sedangkan tawuran yang terjadi antar penduduk desa Sukolilo dan desa Wotan di Kecamatan Sukolilo, Pati terjadi pada tanggal 15 Oktober 1998. Kejadian itu diikuti serangkaian perkelahian massal lain secara kecil-kecilan pada beberapa hari sesudahnya dan mengakibatkan seorang korban meninggal dunia.
Tarik-menarik antara kepentingan politik dan ekonomi tidak menjadi penyebab tawuran di Brebes dan Pati ini. Tawuran yang mereka lakukan terjadi karena ketidakmampuan menjalin komunikasi dialogis antara warga masyarakat setempat. Jaringan komunikasi warga antar desa dilakukan beberapa saat setelah terjadinya tawuran.
Faktor-faktor penyebab tawuran di kedua wilayah tersebut adalah:
(1). Di satu pihak, temperamen rata-rata warga masyarakat desa Pebatan di Brebes dan desa Wotan di Pati relatif tinggi. Di lain pihak, stereotipe warga desa Pesantunan dalam pandangan warga Pebatan kurang baik; demikian pula stereotipe warga desa Sukolilo menurut warga desa Wotan pun kurang baik.
(2). Pengaruh dari kebiasaan minum-minuman keras, pil koplo, dan berjudi sebagian penduduk desa-desa di Brebes dan di Pati tersebut di atas.
Sementara itu ditemukan adanya variabel antara (intervening variable) dalam tawuran antar desa-desa tersebut, seperti
(1). Lunturnya kredibilitas aparat pemerintahan desa di mata masyarakat.
(2). Kurang memadainya kualitas jenjang pendidikan formal mayoritas penduduk desa setempat.
(3). Kurang memadainya pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
(4). Mudahnya warga desa tersebut terkena terpaan media massa, cetak dan elektronik, khususnya siaran televisi.
5. 3. Kerusuhan Sosial-Politik di Pekalongan dan Geger Kebumen
5. 3. 1. Kerusuhan Sosial-Politik di Pekalongan
Kerusuhan sosial-politik yang meluas terjadi di Pekalongan Selatan, Pekalongan, pada tanggal-tanggal 24-26 Maret, menjelang Pemilu 1997. Peristiwa mencekam dan mengorbankan harta-benda, jiwa dan raga warga masyarakat setempat itu dipicu oleh perebutan pengaruh politik dalam bentuk persaingan pemasangan lambang OPP (PPP vs Golkar) dan rencana penyelenggaraan panggung tablig akbar oleh Golkar di wilayah pengaruh mayoritas PPP.
Pada mulanya terjadi ketegangan dan bentrok antara aparat penertiban bendera yang bermaksud menurunkan bendera PPP dan warga pendukung PPP. Peristiwa itu berkembang menjadi kerusuhan sosial ketika panggung Golkar yang didirikan di depan Pondok Pesantren dibakar massa. Selanjutnya makin berkembang kerusuhan sosial yang menjalar menjadi perusakan dan pembakaran toko, kios, bangunan kantor, serta kendaraan beroda dua dan beroda empat.
Keadaan menjadi lebih parah ketika diketahui bahwa pihak aparat Kotamadya dan Muspida tidak dapat memenuhi tuntutan warga setempat untuk memindahkan panggung yang menjadi titik sengketa. Ketidakberanian Walikota dan Muspida untuk mengambil keputusan memindahkan lokasi panggung disebabkan oleh “kebijaksanaan dari atas.” Demikian pula upaya para kiai dan pengurus pondok pesantren agar panggung tablig akbar Golkar yang didirikan di depan pondok pesantren Al-Qur’an sebagai sumber konflik dipindahkan lokasinya, pun gagal karena alasan yang sama. Yang dimaksud “dari atas” adalah “kekuasaan yang lebih tinggi” dalam ABRI maupun pemerintahan.
Massa yang melakukan kerusuhan dan aktor intelektual (provokator) tidak dapat diidentifikasikan secara jelas. Mereka hanya dikenal sebagai perusuh dan aparat tak berani menentukan dari kelompok mana datangnya para perusuh itu. Dari situasi di lapangan terlihat jelas bahwa massa yang berkumpul dalam jumlah besar tidak mempercayai aparat pemerintah dan keamanan karena para aparat tersebut dinilai telah memihak OPP tertentu.
Arogansi kekuasaan politik yang bekerjasama dengan birokrasi pemerintahan dan arogansi kekuasaan ekonomi menjadi tema penyebab kerusuhan sosial-politik ini. Peristiwa semacam ini diharapkan tidak terjadi lagi dengan dihentikannya praktek arogansi kekuasaan, terutama di lingkungan aparat pemerintah dan keamanan. Komunikasi dan azas kemitraan antar kelompok masyarakat harus segera dikembangkan untuk menangkal kesalahpahaman, sikap saling curiga dan menang sendiri, tanpa memikirkan akibat yang terjadi dalam skala lokal yang meluas. Kesadaran tersebut harus segera diikuti langkah-langkah operasional yang konkrit dan terencana.
5. 3. 2. Geger Kebumen
Geger Kebumen dikenal sebagai sebutan untuk kerusuhan sosial yang terjadi di kota Kebumen pada 7 dan 8 September 1998. Berpuluh-puluh tahun menikmati ketenangan, tiba-tiba Kebumen dilanda kerusuhan sosial yang meliputi perusakan, pembakaran, dan penjarahan toko, kendaraan, dan harta-benda lain milik warga etnik Tionghoa. Mengapa peristiwa itu terjadi di Kebumen?
Peristiwa kerusuhan sosial dengan korban etnik Tionghoa bukan peristiwa unik dan berdiri sendiri, melainkan bagian dari pola umum hubungan sosial antara etnik Tionghoa dan Pribumi yang sejak lama tidak harmonis. Tapi, peristiwa itu juga merupakan bagian dari rentetan peristiwa politik di tingkat nasional.
Yang membedakan kerusuhan di Kebumen dengan kerusuhan di tempat lain barangkali faktor pencetusnya, yakni menyebarnya isyu pemukulan terhadap pelayan toko onderdil “Rejo Agung” di Jalan Mayjen Sutoyo, yang memancing kemarahan massa. Faktor pencetus ini menyulut potensi kerusuhan yang sejak lama terpendam dan siap meledak. Keadaan ini dapat dikatakan sebagai penyakit hubungan sosial-ekonomi.
Sumber awal penyakit hubungan antara etnik Tionghoa dan pribumi adalah perlakuan berbeda dari pemerintah kolonial Belanda. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa mendapat perlakuan positif sehingga mereka mudah mengembangkan usaha dan menjadi kelas perantara antara penguasa kolonial dan pribumi. Dalam kehidupan sosial-politik dan hukum, kaum Tionghoa digolongkan dalam bangsa Timur asing.
Meski perlakuan istimewa ini mengendur di zaman Soekarno, disadari atau tidak, menguat kembali pada rezim Orde Baru yang mencanangkan “pembangunan ekonomi” dan menghasilkan para oportunis ekonomi, yakni penguasa sebagai sumber penentu kebijakan dan pengusaha/pedagang Tionghoa yang punya kemampuan dan jiwa dagang yang kuat. Sementara itu terjadi peminggiran potensi pribumi secara besar-besaran terutama dalam dunia usaha dan perdagangan.
Penyakit selanjutnya adalah kecenderungan hidup mengelompok pada orang-orang Tionghoa. Pengelompokan rumah tinggal, toko, dan pergaulan sesama Tionghoa merupakan cara memperoleh rasa aman, tapi cara demikian mendorong tumbuhnya eksklusivisme dan mempermudah mereka sebagai sasaran empuk bila terjadi huru-hara.
Selain itu, gelombang reformasi yang menggelora untuk menumbangkan pusat kekuasaan telah menumbuhkan kondisi untuk timbulnya kerusuhan sosial terhadap etnik Tionghoa. Kedekatan mereka dengan kekuasaan dan penguasa dapat ditafsirkan sebagai kejatuhan bersama penguasa, karena mereka dipandang ikut menyumbang terjadinya berbagai ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat.
Lazim pula dilihat bahwa kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar menumbuhkan kecemburuan sosial warga pribumi terhadap orang Tionghoa. Sebab itu, ketika penguasa jatuh dan perekonomian morat-marit, negara tidak bisa mengayomi kesejahteraan rakyat banyak, dan krisis sembako makin menghimpit. Sasaran kecemburuan menjadi sangat nyata di depan mata, yaitu masyarakat etnik Tionghoa yang dilihat menumpuk bahan makanan dan harta-benda, seperti yang terjadi di sejumlah toko di Kebumen.
Oleh karena itu, langkah-langkah terapi sosial harus segera dilakukan, antara lain:
(1) melakukan penanganan yang terencana, sistematis untuk jangka waktu yang panjang, dengan kemauan politik yang kuat dan terbuka dari pemerintah, untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kerusuhan sampai ke akar-akar permasalahannya;
(2) meniadakan berbagai kebijakan yang menyebabkan marginalisasi pribumi, baik dalam perekonomian lokal, regional maupun nasional, yang diikuti dorongan pemberdayaan masyarakat pribumi dalam usaha dan perdagangan serta industri secara berkesinambungan;
(3) menghilangkan pandangan stereotipe masing-masing pihak melalui pendidikan dalam arti luas, agar dapat dicapai pemahaman bersama yang dapat digunakan acuan dalam jalinan hubungan antar warga Tionghoa dan pribumi;
(4) mendorong terciptanya “jembatan-jembatan” yang lebih luas dan mantap, baik secara fisik maupun sosial-budaya, yang pada ujungnya memungkinkan terjadinya hubungan yang damai dan harmonis antara Tionghoa dan pribumi, tanpa menghilangkan identitas etnik masing-masing;
(5) menciptakan pranata-pranata sosial yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yang dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan keagamaan, yang menekankan pada pentingnya hidup bersama dalam ikatan saling membutuhkan atau saling menghidupi antara kedua belah pihak.
5. 4. Isyu Santet di Semarang dan Demak
5. 4. 1. Ingon Kethek Ireng dan Pengadilan Massa di Rowosari, Semarang
Kekerasan sosial di Desa Rowosari, Kecamatan Tembalang, Semarang dapat dilihat sebagai merasuknya pengaruh informasi media massa ke dalam masyarakat dalam sisi yang negatif. Peristiwa kekerasan muncul pada hari Sabtu malam, 12 September 1998, jam 21.00-24.00, ketika di dua lokasi, yaitu Dukuh Pengkol dan Dukuh Sumber Rejo, Desa Rowosari terjadi perusakan dan pembakaran 12 rumah dan bangunan milik H. Dardiri, oleh massa. Peristiwa tersebut bermula dari adanya “gangguan” kerukunan sosial dalam masyarakat yang normatif, dengan deskripsi berikut.
H. Sumali dan H. Pardi adalah dua orang kaya di Desa Rowosari yang mendapat tempat di hati masyarakat karena cara mendapat kekayaan dipandang tidak merugikan atau membahayakan orang lain. Sebaliknya, H. Dardiri adalah orang kaya yang dinilai bahwa cara, proses dan ekses dari kekayaan yang dimilikinya “tidak wajar” dan dapat menimbulkan risiko atau bahaya bagi orang lain.
Kerugian yang dirasakan warga masyarakat adalah timbulnya rasa cemas karena adanya ancaman “penyakit” dan “kematian” yang diakibatkan oleh keyakinan masyarakat bahwa Dardiri memelihara buto ijo (raksasa hijau) atau kethek wulung (kera hitam) yang setiap saat bisa mencelakakan orang lain. Keyakinan ini melahirkan kemarahan massa yang menghubungkan antara penyakit atau kematian yang dialami warga ada hubungannya dengan “peliharaan” Dardiri yang dapat mencelakakan itu. Sehingga terjadi perusakan dan pembakaran rumah dan bangunan milik H. Dardiri pada malam hari oleh massa.
5. 4. 2. Isyu Santet dan Pengadilan Massa di Donorojo, Demak
Persis sebulan setelah peristiwa pembakaran rumah dan bangunan milik Dardiri di Rowosari, Semarang, pada hari Minggu malam, 11 Oktober 1998 jam 19.00 di Dukuh Manyar, Desa Donorojo, Demak terjadi peristiwa yang merenggut korban jiwa secara mengenaskan. Malam itu cuaca begitu buruk, hujan begitu deras dan guntur terdengar menggelegar berkali-kali. Kiai Rahmadi sedang mengumandangkan iqamat di mushalla yang berdiri di samping depan rumahnya, untuk shalat ‘Isya, ketika secara tiba-tiba sejumlah warga memasuki mushalla, lalu dari belakang mengalungkan tali plastik di leher Rahmadi. Kiai itu diseret ke luar beramai-ramai, melewati jalan pedukuhan sampai di pertengahan dukuh, dan menghembuskan nafas terakhir di tengah jalan.
Sebagian besar masyarakat desa ini adalah petani yang beragama Islam, dengan berbagai aktifitas keagamaan yang relatif menonjol, seperti pengajian rutin, sholat berjamaah di mushalla, tahlilan, berzanjen, dan manaqiban – sekaligus indikasi keNUan. Dalam masyarakat demikian pada lazimnya status dan peran kiai menonjol, sebagai tokoh elit agama bagi masyarakat, bahkan bisa memiliki kewenangan yang lebih dari kewenangan tokoh formal seperti Kepala Desa. Status demikian menimbulkan kebanggaan bagi penyandangnya, tapi juga menimbulkan persaingan baru bagi orang lain.
Kiai Rahmadi mendapat posisi elit dalam NU sebagai Rais Syuriah. Dengan posisi itu, Rahmadi yang pernah belajar ilmu tarekat di pondok pesantren di Mranggen, terkondisi untuk melihat hubungan antara mursid dan murid dalam ketarekatan yang diterapkan dalam masyarakat umum. Sikap demikian menimbulkan tidak saja rasa kurang simpati melainkan juga kecaman dari kiai-kiai lain yang lebih senior, sehingga dapat dikatakan bahwa Rahmadi gagal menciptakan hubungan harmonis dengan santri atau warga setempat. Berkaitan dengan ini, pada masa kampanye Pemilu 1997, Rahmadi yang aktifis PPP mendapat “lawan” dari mereka yang menjadi pendukung Golkar. Kekalahan PPP di desa Donorojo tidak lepas dari figur Rahmadi yang kurang mendapat simpati dari masyarakat.
Dalam konteks tindak kekerasan, Rahmadi dikenal bisa membantu mengobati warga yang sakit, secara “wajar” maupun “tak wajar.” Posisi ini kemudian membawa ancaman bagi dirinya, karena dia gemar menyatakan bahwa dirinya bisa membuat orang lain jatuh sakit, sehingga Rahmadi dapat kelihatan “menakutkan” – tapi justru dengan demikian dia dapat “diancam” karena prasangka buruk masyarakat terhadapnya. Ancaman terhadap Rahmadi makin kuat ketika berulangkali dia menyatakan bisa memberi “pelajaran” orang lain dan sejumlah warga yang jatuh sakit dan meninggal adalah mereka yang pernah bertengkar dengannya.
Rasa keadilan warga menuntut nyawa dibalas nyawa. Pada situasi yang rumit demikian tidak muncul pihak yang mampu menetralisir arogansi Rahmadi yang berhadapan dengan kebencian warga, sehingga kendati mestinya dia menjadi figur yang dihormati, sikap arogannya tak dapat menyelamatkan dirinya.
6. Simpulan
(1). Penelitian ini membagi gejala antagonisme sosial ke dalam 4 (empat) kategori, yakni (a) kerusuhan sosial dan politik yang diwarnai penjarahan barang-barang seperti yang terjadi di Solo dan Blora, serta Pekalongan; (b) kerusuhan sosial dalam bentuk tawuran seperti di Brebes dan Pati; (c) kerusuhan sosial murni hampir tanpa penjarahan seperti di Kebumen; dan (d) kerusuhan sosial yang berkaitan dengan isyu santet atau semacamnya, seperti di Rowosari, Semarang dan Donorejo, Demak.
(2). Faktor-faktor penyebab dan pemicu kerusuhan sosial di berbagai daerah berbeda-beda dan tidak tunggal, tapi pada umumnya bernuansa kesenjangan sosial-ekonomi, dan tidak mendadak, melainkan terpendam dalam waktu yang relatif lama.
(3). Faktor-faktor penyebab kerusuhan sosial di Solo dan di Randublatung, Blora sangat kompleks, meliputi kesenjangan ekonomi, yang bercampur dengan perbedaan persepsi dan nilai-nilai budaya, serta ketidakpercayaan terhadap aparat; demikian pula yang terjadi di Kebumen dan Pekalongan. Hanya, peristiwa yang terjadi di Pekalongan sangat jelas bahwa pemicu utamanya adalah konflik yang menajam antar pendukung kelompok politik di era Orde Baru. Tawuran antar desa atau dukuh di Brebes dan di Pati lebih disebabkan oleh pertengkaran intern antar warga yang relatif bertemperamen tinggi sehingga mudah tersulut konflik fisik.
(4). Keberanian massa untuk menuntut balas secara sepihak dengan pengadilan massa menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan, yang jika tidak disembuhkan dapat melahirkan pola kemasyarakatan yang anarkis, seperti yang terjadi dengan isyu santet yang membawa korban nyawa di Donorejo, Demak dan korban harta-benda di Rowosari, Semarang.
Terima kasih atas perhatiannya.
Bernard, H. Russell. 1994. Research Methods in Anthropology – Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: Sage.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Alih Bahasa: H. Nuktah Arwafie Kurde, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dalgish, Gerard M. Ed. 1997. Webster’s Dictionary of American English. New York: Random House.
Duverger, Maurice. 1998 (1972). Sosiologi Politik. Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Giddens, Antony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity.
Harris, Marvin. 1978a (1974). Cows, Pigs, Wars and Witches: The Riddles of Culture. New York: Vintage.
________. 1978b (1977). Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. New York: Random House.
Jary, David dan Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.
TPJT (Tim Peneliti Jawa Tengah). 1998. Sistem Nilai Sosial Budaya Masyarakat – Studi tentang Santet dan Kerusuhan Sosial di Jawa Tengah. Laporan Penelitian.
[1] Nurdien H. Kistanto adalah Ketua Tim Peneliti Sistem Nilai Sosial Budaya Masyarakat: Studi tentang Santet dan Kerusuhan Sosial di Jawa Tengah (1998) yang hasil laporannya menjadi sumber utama makalah ini. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu Sonya Helen Sinombor, Anton Tabah, Tjetjep R. Rohidi, Darmanto Jatman, Novel Ali, Mudjahirin Thohir, Agus Ali, R. Badil, Dirman Thoha, Adriani Sumampouw, Agus Maladi Irianto, dan Heddy Lugito. Terima kasih kepada Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, Kapolda Jawa Tengah Nurfaizi, Walikota Semarang Sutrisno Soeharto dan Kapoltabes Semarang Sunarko DA, yang telah memberikan dukungan dan fasilitas untuk penyelenggaraan penelitian ini.
[2] Penelitian lapangan di Solo dilakukan oleh Darmanto Jatman & Adriani Sumampouw; di Randublatung, Blora oleh Agus Maladi Irianto; di Wanasari, Brebes dan Sukolilo, Pati oleh Novel Ali & Agus Ali; di Pekalongan dan Kebumen oleh Nurdien H. Kistanto, Tjetjep R. Rohidi, dan Heddy Lugito; di Rowosari, Semarang dan Donorojo, Demak oleh Mudjahirin Thohir & Sonya H. Sinombor.
Kemiskinan dan Kebudayaan
- Budaya Kemiskinan dalam Masyarakat Kita
Oleh
Nurdien H. Kistanto
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro
Ceramah Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana Kota Semarang
Gedung Balai Kota Semarang
Jl. Pemuda 148 Semarang
Senin, 29 Juni 2009
Kemiskinan dan Kebudayaan
- Budaya Kemiskinan dalam Masyarakat Kita
Oleh Nurdien H. Kistanto
I. Pendahuluan
Kemiskinan adalah suatu keadaan yang dialami manusia atau masyarakat, atau kelompok masyarakat yang serba kekurangan, penduduk atau mereka yang secara ekonomis dan politik menderita kekurangan. Kemiskinan multidimensi merupakan kemiskinan yang dialami manusia atau masyarakat dalam berbagai bidang, seperti bidang ekonomi, bidang politik dan bidang kebudayaan, sehingga kita kenal pengertian-pengertian kemiskinan ekonomi, kemiskinan politik, dan kemiskinan budaya.
Di antara berbagai jenis kemiskinan, (1) kemiskinan ekonomi paling mudah dan segera dapat terlihat jika dialami oleh seseorang atau kelompok masyarakat, melalui penampilan dengan pengamatan sekilas, seperti pakaian, perilaku dan gaya hidup, kasus-kasus anak jalanan, pengangguran dan pemulung. Kemudian (2) kemiskinan politik dapat terlihat secara kelompok pada saat-saat tertentu, misalnya dari rendahnya perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap peristiwa politik, rendahnya tingkat partisipasi dan antusiasme politik masyarakat pada saat pemilihan umum (pemilu) yang meliputi pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), dengan banyaknya jumlah dan tingginya persentase golongan putih (golput).
Sedangkan (3) kemiskinan budaya dapat terlihat dari rendahnya sikap manusia atau masyarakat terhadap pemikiran atau gagasan dan perbuatan atau tingkah laku yang bernilai kultural, yang tidak segera atau mudah tertangkap mata – karena penghargaan manusia atau masyarakat terhadap kebudayaan membutuhkan kepekaan rasa, pikir dan batin manusia yang dapat dicapai melalui belajar, pembiasaan dan tradisi yang berulang-ulang - sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan atau kekayaan budaya seseorang atau masyarakat ditentukan oleh tinggi-rendahnya kualitas manusia atau masyarakat dalam mencapai penghargaan budaya, yaitu penghargaan terhadap manusia dan hasil pekerjaannya yang bermutu (bandingkan Rizasaputra, 2008).
II. Penyebab Kemiskinan
Pada umumnya kemiskinan dipahami sebagai bukan hanya masalah takdir, melainkan masalah tidak dimilikinya kemampuan-kemampuan tertentu untuk memenuhi kebutuhan material secara layak. Kemiskinan cenderung disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
1. Rendahnya tingkat pendidikan
Pada umumnya masyarakat miskin memiliki tingkat pendidikan yang rendah, bahkan pendidikan dasarpun mereka tidak selesai. Keadaan ini mempengaruhi pola pikir mereka dalam menghadapi persoalan dan pemecahannnya, juga kesempatan dan peluang untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi mereka sangat kecil.
2. Rendahnya penguasaan keterampilan
Tidak dikuasainya keterampilan tertentu yang dibutuhkan untuk bekerja semakin memperburuk kondisi mereka untuk dapat melakukan perubahan dari kondisi kehidupan yang mereka alami.
3. Tidak memiliki penghasilan tetap
Karena rendahnya pendidikan dan tidak dikuasainya keterampilan tertentu menyebabkan mereka sulit memperoleh pekerjaan tetap sehingga mereka tidak memiliki penghasilan yang tetap pula untuk dapat menjamin kehidupan sehari-hari, sehingga mereka hanya mengandalkan kemampuan fisik untuk bekerja sebagai kuli bangunan, buruh srabutan atau buruh harian.
4. Tidak memiliki modal usaha
Untuk memulai dan menjalankan usaha dalam meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, masyarakat terbentur pada ketiadaan modal atau dana pinjaman, kalau pun ada dana mereka terbentur pada sistem birokrasi yang membuat mereka membatalkan niat untuk memanfaatkan.
5. Tidak memiliki kesempatan bekerja dan berusaha
Kecilnya peluang dan perhatian yang diberikan kepada mereka menyebabkan mereka tetap dalam kondisi miskin. Mereka yang mengalami keadaan demikian menjadi penganggur atau semi-penganggur, tidak bekerja atau kadang-kadang bekerja dan tidak dapat akses untuk menjalankan kegiatan usaha.
6. Tidak memiliki kemauan (inertia)
Penyebab lain kemiskinan adalah sikap tidak ingin maju atau keluar dari kemiskinan sampai menjadi pasrah pada keadaan dan tidak berusaha untuk merubah hidup mereka.
7. Tidak tahu harus bagaimana
Dengan kondisi demikian, mereka bingung tidak tahu harus bagaimana atau mulai dari mana untuk memperbaiki nasib.
8. Kelangkaan mata pencaharian
Di desa dan di kota kelangkaan mata pencaharian dan kesempatan kerja menambah jumlah orang miskin, terutama dari angkatan kerja. Migrasi dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan, karena di desa tanpa akses terhadap lahan pertanian, menambah masalah kemiskinan di perkotaan. Keputusan untuk melakukan migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan fenomena ekonomi, oleh karenanya keputusan tersebut oleh para migran telah dirumuskan secara rasional. Para migran tetap saja pergi ke kota meskipun mereka tahu tingkat pengangguran di kota tinggi dan bisa berisiko bila tidak membawa bekal ketrampilan dan keahlian yang memadai untuk memperoleh pekerjaan di kota.
9. Bencana alam dan krisis ekonomi
Selain dari itu, bencana alam dan krisis ekonomi menambah parah kemiskinan. Krisis ekonomi yang melanda bangsa ini harus segera diatasi melalui program-program untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang benar-benar menyentuh dan bermanfaat, sebab lapisan miskin dan penganggur inilah yang paling parah keadaannya. Terjadinya bencana alam dan krisis ekonomi meningkatkan jumlah angka kemiskinan dan pengangguran, menurunkan daya beli dan menumbuhkan kerawanan sosial yang memprihatinkan (Ridlo, 2005).
III. Kemiskinan dan Kebudayaan: Budaya Kemiskinan
Dalam kemiskinan melekat kebudayaan, orang-orang miskin membawa kebudayaan, menjalankan kebudayaannya. Kondisi-kondisi miskin tersebut mengandung dan membawa cara hidup, kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dapat menjadi karakteristik bagi kategori miskin. Totalitas cara hidup, kebiasaan, dan tradisi orang-orang miskin demikian dijalankan sehari-hari sehingga secara keseluruhan mengembangkan suatu kebudayaan atau subbudaya yang disebut kebudayaan kemiskinan atau subbudaya kemiskinan (the culture of poverty) yang diwariskan secara turun-temurun melalui garis-garis keluarga.
Budaya kemiskinan merupakan adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap posisinya yang pinggiran dalam masyarakat yang berlapis-lapis kelas, cenderung individualistis, dan kapitalistik. Budaya kemiskinan menggambarkan upaya mengatasi perasaan ketidakberdayaan (hopelessness) dan keputusasaan (despair) yang berkembang dari realisasi kemustahilan dalam mencapai keberhasilan yang berhubungan dengan nilai-nilai (values) dan cita-cita (goals) masyarakat luas. Banyak ciri-ciri dari budaya kemiskinan dapat dipandang sebagai upaya-upaya solusi lokal terhadap masalah-masalah yang tak bisa diatasi oleh lembaga-lembaga yang ada karena orang-orang miskin memang tidak memenuhi syarat, sehingga tidak dapat memperolehnya; seperti misalnya mereka tidak bisa mendapat kredit bank sehingga mencari jalan sendiri dengan melibatkan diri dalam praktek rentenir yang mencekik leher dan terus berkubang dalam kemiskinan yang lebih parah (lihat Lewis, 1965: xliv).
III. 1. Hunian dan Kegiatan
Di antara unsur-unsur kebudayaan yang membentuk kebudayaan orang-orang miskin, hunian dan kegiatan merupakan unsur-unsur yang mudah diamati.
1. Hunian
Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat orang-orang miskin dapat dilihat tinggal di tempat-tempat sebagai berikut.
1.1. Perkampungan kumuh, miskin dan kotor (slum), seperti di Pekunden, Bandarharjo, dan Kaligawe serta komunitas pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang (Ridwan, 2008) - yang kemudian mendorong pembangunan rumah susun Pekunden, Bandarharjo dan Kaligawe; perkampungan di sepanjang tepi pantai, yang belakangan terselip di antara hunian kumuh, keluarga-keluarga dengan rumah gedongan.
Perkampungan kumuh tumbuh dengan infrastruktur dan fasilitas perumahan kampung yang tidak memadai dan bersamanya berkembang budaya kemiskinan yang telah dihayati dari generasi ke generasi. Mudah dijumpai di lingkungan ini, hunian sempit dengan dinding dari papan tipis mudah aus, anyaman bambu atau diselang-seling tambalan kardus bekas dan bahan lain, dengan lantai tanah, sirkulasi udara yang kurang lancar, pencahayaan yang redup atau remang-remang, atap tambalan dan bocor di sana-sini, pakaian tergantung di sembarang ruang, dengan peralatan dapur dari gerabah atau barang bekas dan peralatan-peralatan lain yang bekas atau tidak lengkap atau tua.
Kebiasaan hidup dalam hunian seperti itu dijalankan membudaya oleh keluarga-keluarga miskin yang kadang-kadang meliputi keluarga besar (extended family) yang terdiri dari keluarga-keluarga lebih dari satu generasi, dari kakek-nenek sampai cucu-cucu, dan sebagainya. Ketika hunian-hunian mereka menjadi apartemen atau rumah susun sederhana, sebagian dari kebiasaan-kebiasaan lama tetap ikut bersama orangnya, yang kemudian menjadi persoalan lagi dalam kedisiplinan, kebersihan, dan hubungan sosial.
1. 2. Hunian Liar (squatters)
Hunian liar pada umumnya tumbuh di bantaran sungai atau kanal, kolong jembatan, bantaran rel kereta api, dan lahan kosong yang diabaikan. Orang-orang miskin tinggal di hunian liar dengan membuat bedeng dari kardus bekas atau barang bekas lainnya, bahkan sampai beberapa generasi. Pada perkembangannya, mereka yang tinggal di bantaran sungai dan tepian rel kereta api, karena mengalami perbaikan ekonomi, ada yang membuat rumah yang mula-mula semi permanen lama kelamaan menjadi permanen, bahkan sampai beranak-pinak antar generasi dengan akses aliran listrik, air dan tarikan retribusi atau pajak. Kehidupan kaum miskin di hunian liar menghasilkan aktivitas budaya tersendiri, yang selalu was-was menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah. Ketika giliran peraturan daerah hendak ditegakkan, para petugas ketertiban umum (tibum) mengalami kesulitan menghadapi para penghuni yang ingin bertahan, sehingga tak jarang terjadi konflik dengan kekerasan.
1. 3. Rumah Singgah
Rumah atau wisma singgah biasanya diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberi tempat bagi orang-orang dan anak-anak jalanan sebagai suatu tradisi atau fenomena baru dalam budaya kemiskinan. Rumah singgah berupa bangunan rumah sebagai tempat orang-orang miskin, tanpa tempat tinggal, atau meninggalkan tempat tinggalnya, untuk dididik dan dibina dalam pembelajaran yang direncanakan oleh penyelenggara atau pengelolanya. Dalam pembudayaan melalui rumah singgah ini juga terjadi masalah karena mereka yang ditampung di tempat ini sulit meninggalkan budaya atau kebiasaan lamanya seperti kurang disiplin, liar, seenaknya, atau, bahkan, sampai mencuri barang.
1. 4. Pondok Pesantren
Beberapa pondok pesantren menerima kanak-kanak, remaja dan pemuda-pemudi miskin yang terlantar, yatim dan/atau piatu, atau tanpa sanak-saudara. Di tempat ini mereka diasuh dan belajar mengaji dengan bimbingan kiai yang sekaligus pengelola pondok dengan para pembantunya. Cara hidup atau kebudayaan yang dibiasakan adalah cara hidup pesantren – sehingga mereka disebut santri, yang sarat dengan ajaran-ajaran, nilai-nilai dan praktek-praktek sosial-relijius. Kepada mereka diajarkan membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama lainnya. Sebagian dari anak-anak dan remaja juga menjadi murid di sekolah formal Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah.
1. 5. Pondok Boro
Pondok boro dibangun di kota secara sederhana untuk menyediakan tempat singgah sementara bagi para migran atau pejalan dengan biaya tinggal relatif murah. Biasanya tempat ini berada berdekatan dengan pusat-pusat pekerjaan kasar, buruh dan srabutan, seperti Pasar Johar. Fasilitas yang tersedia begitu sederhana dan mereka yang singgah di tempat ini sesuai dengan kebiasaan sehari-hari yang juga sederhana, mulai dari tempat tidur, kamar mandi, peralatan dan lingkungannya.
2. Kegiatan
Kegiatan utama dan kegiatan-kegiatan lain orang-orang miskin membentuk kebiasaan atau kebudayaannya. Kebudayaan orang-orang miskin dibentuk oleh mata pencaharian atau pekerjaan dan kegiatan-kegiatan lain sebagai cara hidup yang mereka jalankan.
2. 1. Pekerjaan
Pada umumnya orang-orang miskin menjalani pekerjaan yang tidak tetap pada sektor informal, bahkan beberapa di antaranya dapat dikatakan “pekerjaan yang tidak lazim” atau tidak masuk kategori untuk isian kartu tanda penduduk (KTP). Namun semua “pekerjaan” yang dilakukan oleh orang-orang miskin tersebut telah membentuk pola-pola kebiasaan atau kebudayaan tertentu yang bersifat tetap atau semi-tetap. “Pekerjaan-pekerjaan” tersebut pun ada yang dijalankan secara tetap, ada yang tidak tetap atau musiman, yang meliputi:
1. Peminta-minta atau pengemis.
2. Pengamen.
3. Pemulung.
4. Penyemir sepatu.
5. Penjual koran.
6. Buruh kasar.
7. Buruh srabutan.
8. Tukang menetap, seperti tukang sepatu, tukang patri.
9. Tukang keliling, seperti tukang sepatu, tukang patri, tukang payung.
10. Penjaja menetap.
11. Penjaja keliling.
12. Tukang bengkel seperti bengkel sepeda, tambal ban.
13. Pedagang kaki lima kecil-kecilan dan eber-eber.
2. 2. Kegiatan Lain
Kegiatan lain orang-orang dan keluarga-keluarga miskin meliputi
1. Kegiatan-kegiatan dalam keluarga atau yang berkaitan dengan keluarga, antara lain berupa pola pengasuhan dan pendidikan anak, hubungan suami-istri, hubungan anak dan orang tua, hubungan antar keluarga, dan hubungan keluarga dengan lingkungan. Alat bermain atau mainan anak-anak miskin tentu berbeda dari alat bermain atau mainan anak-anak keluarga kaya.
2. Kegiatan-kegiatan di luar keluarga, yang dilakukan laki-laki dan perempuan, yang dapat berupa kegiatan-kegiatan yang secara umum normatif dan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan norma-norma yang lazim dalam masyarakat, seperti berjudi, melacur, mencuri, dan tindak kriminal lainnya.
IV. Penutup
Kemiskinan dapat merupakan fenomena dan realitas sosial yang multidimensional yang meliputi kemiskinan ekonomi, kemiskinan politik dan kemiskinan budaya. Kebudayaan kemiskinan atau budaya miskin yang dialami kaum miskin terbentuk dari kebiasaan, tradisi, dan praktek yang dilakukan oleh orang-orang miskin yang membentuk budaya khas kaum miskin. Jenis hunian dan pekerjaan serta kegiatan-kegiatan lain yang dijalankan kaum miskin membangun tradisi yang turun-temurun diteruskan oleh generasi kaum miskin berikutnya sehingga budaya kemiskinan berkembang.
Sebagai penutup, puisi Rendra berikut ini sangat berkesan untuk dibaca.
Orang-orang Miskin
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kuncingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan t.b.c. dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah:
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.
Yogya
4 Februari
1978
Daftar Pustaka
Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan, Penghimpun. 1980. Kemiskinan Struktural – Suatu Bunga Rampai.
Basham, Richard. 1978. Urban Anthropology – The Cross-Cultural Study of Complex Societies.
Lewis, Oscar. 1965, 1966. La Vida: a Puerto Rican Family in the Culture of Poverty –
Mubyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika dan C.V. Rajawali.
Rendra. 1980. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Ridlo, Mohammad Agung. 2005. “Kehidupan Komunitas Kaum Miskin di Permukiman Kumuh Kota Semarang,” Pra-Disertasi, Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan, Program Pasca Sarjana UNDIP,
Ridwan. 2008. “Kelangsungan Hidup Masyarakat Marginal: Potret Komunitas Pemulung di TPA Jatibarang
Valentine, Charles A. 1968. Culture and Poverty: Critique and Counter-Proposals.
Situs Internet
Geriya, I Wayan (antropolog Fakultas Sastra, Universitas Udayana), “Konstruksi Budaya Kemiskinan.”
Rizasaputra. ”Membebaskan Belenggu Pola Pikir,” 11 Mei 2008.